Munir Said Thalib
Munir Said Thalib Copyright©abadikini |
Beliau memulai karir dalam hukumnya dengan melakukan pembelaan pembelaan terhadap berbagai kebijakan yang saat itu sedang liar dan sangat merugikan rakyat maka dari itu, fokus Munir saat itu adalah HAM atau yang berurussan dengan rakyat kecil, dan juga ikut serta membangun dan mengikuti berbagai organisasi organisasi kemanusiaan.
karena itu, beliaupun juga ikut membela pada beberapa kasus yang terjadi, antaranya adalah kasus Araulo yang dianggap melawan pemerintah Indonesia, ada juga kasus yang beliau ikut andil didalamnya adalah adalah kasus Marsinah, yaitu seorang aktivis buruh yang dibunuh militer pada 1994, menjadi penasehat hukum untuk beberapa kasus pembunuhan petani petani oleh militer kala itu, dan menjadi penasehat hukum di berbagai kasus kasus kejahatan terhadap kemanusiaan beberapa diantaranya adalah penasehat hukum para korban dan keluarga Korban Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999).
lalu pada tahun 2004, Beliau secara berkala rajin menulis di media media cetak dan elektronik berkaitan dengan urusan kemanusisaan dan HAM. dan pada tahun ini pula, suatu peristiwa terjadi, pada tanggal 7 September, Munir berniat untuk melanjutkan studinya di Utrecht University Amsterdam, Belanda. setelah pesawat berangkat dari bandara di singapura, Munir bolak balik ke toilet, setelah tiga jam dari singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit dan meminta Beliau duduk di dekat dokter agar dapat ditangani, Namun sayangnya, saat 2 jam sebelum pesawat mendarat, Munir meninggal Dunia di pesawat yang ditumpanginya, pesawat GA-974.
setelah beberapa waktu, polisi Belanda menemukan jejak jejak zat arsenikum terdapat di tubuh aktivis HAM tersebut, banyakk dugaan dugaan tentang hal ini dari polisi Indonesia, karena memang saat itu sedang banyak terjadi konflik. lalu jalan yang diambil pemerintah saat itu ialah Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.
14 Tahun di Bunuh, 14 Tahun tanpa keadilan, 14 Tahun Kami tidak lupa!!!
Komentar
Posting Komentar